[:: fafirru...ilallah ! ::]

waktu adalah kehidupan. dan sungguh detik-detiknya akan membuktikan kualitas kehidupan yang kita bangun. maka bersegeralah kepada allah. karena dia-lah sumber energi yang tak terbatas...

My Photo
Name:
Location: Bontang, East Borneo, Indonesia

from zero to hero.

Friday, June 26, 2009

Salam

Bismillah

Alhamdulillah. kembali ku di sini. setelah sekian lama...mari kita bangit!


Fafirru..ilallah!!!

Saturday, May 30, 2009

Al Bakka’un


Masa-masa itu, cuaca musim panas begitu angkuhnya. Suhu yang amat tinggi membuat lemah hati setiap kafilah yang ingin melewati padang pasir. Namun tekad Rasulullah saw untuk memobilisasi pasukan untuk menghadang pasukan Romawi yang ingin membalaskan kekalahan memalukan di Muktah, tampaknya sudah bulat. Keadaan ini benar-benar berat bagi orang-orang yang di hatinya ada penyakit. Apalagi saat itu panen sedang berlimpah. Tak urung kondisi ini membuat mereka menimbang-nimbang seruan jihad Rasulullah saw tersebut. Begitulah kaum munafiqun. Namun tidak demikian bagi kaum mukminin. Alih-alih menyurutkan semangat, menyikapi seruan jihad Rasulullah saw, kaum beriman justru menyambut dengan gembira.

Kaum beriman menyambut ajakan tersebut laksana kaum yang mendapati cahaya dalam kegelapan. Seluruh kaum beriman bangkit mempersiapkan diri menghadapi peperangan, tak terkecuali kaum yang miskin papa. Kaum yang miskin tersebut sebenarnya tak memiliki perbekalan yang layak untuk maju ke medan jihad, namun tampaknya gelora keimanan yang membara di dada-dada mereka tidak menjadikan mereka berniat mengambil rukhshoh. Walaupun demikian. sang pemimpin, Rasulullah saw tetap mempertimbangkan rasionalitas dalam strategi perangnya. Kaum yang tidak memiliki perbekalan yang layak dilarangnya mengikuti perang. Maka pulang dan menangislah kaum miskin papa yang tak berbekalan itu. Dan mereka pun dijuluki Al Bakka’un (orang yang menangis).

Seorang teman menceritakan kegagalannya untuk berangkat menjadi sukarelawan di Aceh. “Ane ga lulus seleksi.” sesalnya. “kalo dipikir-pikir, sepertinya cukup sering juga ane menjadi Al Bakka’un seperti ini… maju dengan semangat membara, dan pulang karena ditolak…”. “Ha?” sahutku, “wah…akhi, jangan terlalu mendramatisir begitulah…” hiburku. Kesedihannya membuatku termenung sejenak. Jika coba diekstrapolasikan, untuk suatu kegiatan sosial seperti ini saja tidak lulus seleksi, bagaimana jika suatu saat ada panggilan jihad…? Bisa-bisa baru mendaftar pun sudah tidak boleh…

Hua.. tiba-tiba saya jadi cemas. Temanku itu mendaftar sukarelawan, lalu tidak lulus, dan mengklaim diri sebagai al Bakka’un. Lalu bagaimana dengan diriku? Mendaftar pun tidak… ah, jadi ingat beberapa urusan yang kuanggap menjadi penghalang bagiku untuk mendaftarkan diri… ah.. semoga Allah tidak menilaiku sebagai munafiq… semoga kerjaan ‘ecek-ecek’ beberapa waktu lalu ada juga catatannya di sisi Allah… sing ikhlash..sing ikhlashh…


--- ...
li mujahidu li nafsihi

Thursday, May 28, 2009

Nafsu Amarah


Ternyata ada juga yang terlewatkan. Ternyata benar bahwa ketiga jenis nafsu itu senantiasa melingkupi jiwa manusia. Muthmainnah, Lawwamah, Amarah. Nafsu Muthmainnah adalah nafsu yang sangat baik dan terbaik. Ia senantiasa mendorong kepada ketaatan. Sedangkan nafsu amarah adalah nafsu yang buruk. Ia senantiasa mendorong kepada angkara murka dan keburukan. Lalu nafsu lawwamah, nafsu yang menyesali dirinya sendiri. Ada pendapat yang mengatakan nafsu ini termasuk baik, karena ia mendorong manusia senantiasa menyesali diri dalam artian muhasabah selalu. Ada pula yang berpendapat nafsu lawwamah itu buruk, karena keadaan manusia yang disifati nafsu ini senantiasa berubah-ubah antara taat dan maksiat. Atau suatu saat ia taat beribadah, namun di waktu yang lain ia tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga berbuat maksiat, hingga kemudian ia kembali bertaubat dan menyesali dirinya..

Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi atas ketiga nafsu tersebut. Pada satu masa, suatu keadaan akan membangkitkan potensi nafsu muthmainnahnya. Pada masa yang lain, suatu keadaan akan membangkitkan nafsu amarahnya. Dan pada masa yang lain lagi, suatu keadaan akan membangkitkan nafsu lawwamahnya. Dan akhlaq manusia akan tercermin pada bagaimana seseorang mengatur potensi nafsu yang manakah yang lebih ingin ia kembangkan.

Intinya adalah pengendalian diri. Menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri adalah bagaimana seseorang dapat memerintahkan pada jiwa dan raganya untuk menuruti apa yang dikehendaki akal sehatnya. Sedangkan kesehatan akal bergantung pada pengetahuan yang difahaminya. Di sinilah hidayah taufik mengambil peranannya. Hidayah taufik akan membimbing manusia membenarkan apa yang telah difahaminya.

wallahu a'lam.

--- pagi yang cerah
In memoriam, shaum yang membara

Tuesday, May 19, 2009

Sakit


Sakit, siapa yang tak pernah merasa sakit.
Kala tangan teriris pisau, sungguh sakit rasanya.
Saat kaki terantuk batu, sungguh sakit pula rasanya.

Begitulah, tubuh ummat ini tengah dihujam beribu belati yang amat tajam
Tubuh ummat ini tengah dihantam beribu batu-batu cadas
Ummat ini tengah merasakan derita dan sakitnya yang amat luar biasa.
Seluruh alam dan pelosok bumi kiranya dapat merasakan sakit yang sedang diderita sang ummat terbaik ini.
Ummat terbaik, dari segala penjurunya sedang dijajah.
Somalia, Bosnia, Cechnya, Afghanistan, Iraq, … negeri-negeri jihad akbar
Thailand, Philliphina, India, … penindasan mayoritas yang kian tak beradab
Amerika, Prancis, Inggris, Australia, Timor Leste … diskriminasi yang melecehkan
Aceh, Poso, Maluku, … bahkan pengkhianatan di negeri sendiri
Sabra, Shatila, Jalur Gaza, Yerussalem, Al Aqsha, Palestina, … universitas jihad abadi

Tak terhitung beribu-ribu kaum muslimin dipenggal dan dibantai
Tak terhitung beribu-ribu anak-anak muslim yang selamat menjadi yatim piatu
Tak terhitung beribu-ribu perempuan muslimah direnggut kehormatannya
Tak terhitung jumlahnya darah tertumpah membanjiri dunia Islam
Takkan cukup jika airmata harus ditumpahkan untuk itu semua
Sungguh aqidah ini amat sangat mahal harganya
Oleh sebab aqidahnya, kamu muslimin diburu dimana saja mereka berada
Namun oleh sebab aqidahnya pula, kelak kaum muslimin akan diselamatkan di hari yang dijanjikan

Suatu kali Musa as berkata kepada Tuhannya, “Wahai Tuhanku, hambaMu yang beriman menderita kemiskinan di dunia.” Lalu dibukakan pintu surga untuk Musa, hingga ia dapat melihatnya. Allah swt berfirman, “Wahai Musa, inilah yang Aku sediakan untuknya”. Musa berkata, ”Wahai Tuhanku, demi kemuliaan dan keagunganMu, andai kedua tangan dan kakinya (hamba) terpotong, lalu ia diseret dengan wajah tertelungkup semenjak ia terlahir sampai hari kiamat, tentu ia tidak akan pernah merasakan kepedihan, apabila seperti ini tempat kembalinya. Wahai Tuhanku, hambaMu yang kafir mendapatkan keluasan di bumi.” Lalu dibukakan pintu neraka kepada Musa. Kemudian dikatakan kepada Musa, “Wahai Musa, inilah yang Aku sediakan untuknya.” Musa berkata, “Wahai Rabb, demi kemuliaan dan keagunganMu, andaikan ia memiliki dunia sejak lahir hingga hari kiamat, ia tidak akan pernah melihat suatu kebaikan pun, apabila seperti ini tempat kembalinya.” [HR Ahmad, dari Abu Sa’id Al Khudri ra]

“…Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." [3:195]


--- before midnight
yang masih saja dilingkupi segala kekerdilan diri

Dewasa


Selagi ada usia, menjadi tua adalah kepastian, namun menjadi dewasa adalah pilihan. Seseorang dikatakan dewasa, jika telah lahir pada dirinya kesadaran untuk memberikan kepada tiap-tiap segala sesuatu haknya.

Ia mengenal Tuhannya karena ia faham bahwa Tuhannya berhak untuk dikenali. Iapun faham bahwa Tuhannya berhak untuk disembah, untuk ditaati, untuk diibadahi, diutamakan atas segala sesuatu, dijadikan tempat memohon dan berharap, yang dikhawatirkan benci dan amarahNya, dan yang diharapkan cinta kasih dan belas kasihanNya.

Ia dapat membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, dan kemudian ia memahami bahwa dirinya berhak atas kebenaran itu. Ia memahami bahwa dirinya berhak pula atas iman yang kokoh, atas ibadah yang benar, dan atas akhlak yang baik. Ia faham bahwa dirinya bukan hanya miliknya sendiri. Dirinya adalah juga milik keluarganya, dirinya milik lingkungannya, dirinya milik masyarakatnya, dirinya milik bangsa dan negaranya, dan terutama dirinya adalah milik agamanya.

Ia tunaikan seluruh hak-hak tersebut, karena ia sadar benar bahwa dirinya telah terikat perjanjian dengan Tuhannya. Ia sadar benar bahwa jiwa dan raganya telah dibeli oleh Tuhannya dengan harga yang teramat tinggi. Sungguh-sungguh ia khawatir kalau sampai menukar perjanjian tersebut dengan harga yang rendah…

Ah, ternyata saya masih belum begitu dewasa…

Allhummaghfirlii …
Allahummarhamnii …


---before midnight
dalam proses pendewasaan

Sunday, May 03, 2009

Ya Ghofur ... Ya Rahim...

"Katakanlah (bahwa Allah berkata): "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab menimpamu kemudian kamu (pada saat itu) tidak (lagi) ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba sedang kamu tidak menyadari."
[Az-Zumar: 53-55)]

Saturday, May 02, 2009

Employee vs Entrepreneur


“Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian” [QS Al Baqarah 2:198]
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud juga makan dari kerja tangannya sendiri.” [HR Bukhari]
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan Luth menjadi petani, Shalih menjadi pedagang. Daud menjadi pandai besi, Musa, Syuaib, dan Muhammad menjadi penggembala.”

Sepertinya saya belum pernah mengetahui adanya nash atau hadits yang secara eksplisit mengarahkan ummat Islam dalam memilih profesi ekonominya. Kita-kita (kita..?) yang mengagungkan entrepreneurship biasanya menggunakan dalil bahwa 9 di antara 10 sahabat yang dijamin masuk surga adalah entrepreneur. Pertanyaannya, kesepuluh sahabat tersebut mendapatkan jaminan surga karena entrepreneurship-nya-kah, atau karena yang lain?

Saya cuma ingin mencoba melihat ‘pertarungan’ ini dari sisi-sisi yang lain…

Pertama, antara menjadi karyawan dan menjadi wirausaha, adakah yang satu lebih baik dari yang lainnya? Ataukah kedudukannya setara, dalam artian sebenarnya kedua hal tersebut merupakan pilihan hidup biasa?

Jawabannya mungkin akan berbeda-beda bergantung pada tolok ukur yang kita gunakan. Jika tolok ukurnya keamanan financial (saya tidak terlalu sepakat dengan pendapat yang merendahkan pertimbangan keamanan financial) mungkin orang akan berkata bahwa menjadi karyawan tentu lebih baik. Jika tolok ukurnya kebebasan financial maka orang akan berkata sebaliknya, entrepreneurlah yang terbaik. Namun jika kita berbagai tolok ukur itu kita saling pertimbangkan, pada akhirnya saya berpendapat bahwa urusan ini lebih dekat kepada hanya sebuah pilihan hidup belaka. Apakah kita ingin menjadi pegawai perusahaan X, atau apakah kita ingin merintis usaha sendiri, itu pilihan. Letak ‘fastabiqul khairat’-nya bukan terletak pada mana yang kita pilih, tetapi pada usaha kita dalam masing-masing pilihan itu.

Mengapa demikian? Ya kita kembalikan saja kepada kehidupan para sahabat dan kaum Muslimin setelahnya. Jika fakta 9 di antara 10 sahabat yang dijamin masuk surga adalah wirausahawan, kita jadikan dalil bahwa wirausaha lebih baik daripada menjadi karyawan, maka mengapa para sahabat tidak seluruhnya menjadi entrepreneur. Bukankah para sahabat adalah orang-orang yang sangat gigih mengejar kebaikan? Para Sahabat adalah kaum yang terdekat dengan Nabi saw, maka kita percaya mereka adalah kaum yang paling baik dalam meneladani Nabi saw. Begitupun para tabi’in adalah yang terbaik dalam meneladani para sahabat, selanjutnya para tabi’it tabi’in merupakan kaum yang paling baik meneladani para tabi’in. Namun lagi-lagi kita tidak menjumpai beliau-beliau seluruhnya menjadi entrepreneur (atau saya salah?), sedangkan kita masih percaya mereka adalah orang-orang selalu mengejar kebaikan. Demikian saya fikir cukup untuk mengatakan bahwa urusan ini hanyalah masalah pilihan hidup biasa.

Kedua, apa sesungguhnya alasan sehingga sebagian besar para Nabi dan para Sahabat konon menjadi entrepreneur?

Menurut saya, fakta tersebut lebih bersifat kondisional. Para Nabi adalah pemimpin. Para Nabi adalah sang pembawa risalah, yang hampir dapat dipastikan mendapat pertentangan yang keras dari kaumnya. Rasanya tidak akan terbayang kalau seandainya Nabi Muhammad saw sambil berda’wah juga harus menyisihkan waktu untuk bekerja di kantornya Abu Jahal misalkan. Begitupun para Sahabat, rasanya sirah sahabat akan aneh kalau misalnya ada riwayat Abu Bakar r.a kerja di tempatnya Abu Sufyan misalkan. Mengapa? Karena Rasulullah saw adalah sang pembawa ajaran baru (dalam konteks zaman itu) yang akan membentuk ummat baru, maka dalam segala hal peran kepemimpinan dan peran keteladanan beliau menjadi sangat vital. Jadi entrepreneurship-nya sebagian Nabi, Rasulullah saw dan para Sahabat adalah kondisional sesuai peran dakwah dan konsekuensi logis yang mengikutinya. Toh kita juga mengetahui bahwa Nabi Yusuf pun bekerja pada kerajaan bukan?karena memang peran dakwah dari kenabian beliau menghendaki demikian.

Jadi buat kita-kita (kita..?) yang masih menjadikan dakwah sebagai profesi utama sebagaimana para Nabi dan Rasul, ada baiknya jika pilihan profesi kita ada kesesuaiannya dengan peran dakwah kita. Peran dakwah tentu bergantung pada kompetensi dakwah kita. Saya rasa banyak dari kita yang sudah cukup terlatih dengan kerja-kerja dakwah selama berada di kampus beberapa waktu lalu (opsional, boleh diganti dengan ‘hingga beberapa waktu ke depan’ J ). Artinya tentu sudah sangat memahami di mana letak kompetensi kita sesungguhnya dalam berdakwah, sehingga kita bisa memilih profesi yang paling sesuai dengan kompetensi tersebut. Selain kompetensi, peran dakwah juga dipengaruhi oleh pandangan orang lain. Maklum, ‘orang baik’ konon selalu mendapat sorotan. Biasanya masyarakat kita masih suka bertanya, ‘sekarang kerja di mana?’. Jawaban kita bisa jadi akan sangat mempengaruhi peran dakwah kita di tengah-tengah mereka. Ambil contoh jawaban kita ‘di Siemens’ atau ‘di Astra’ atau ‘di Schlumberger’ atau ‘Caltex, Freeport, sekaligus KPC’ dll, biasanya masyarakat kita langsung kagum. Di satu sisi ini mungkin masalah paradigma, tapi di sisi lain, ini akan berdampak positif bagi peran dakwah kita. Berbeda jika kita ternyata sama sekali belum sanggup menjawabnya. Kalau ini dijadikan kebiasaan, jangankan berhadapan dengan umat, berhadapan dengan calon mertua pun bingung, kan repot. Untuk bab pandangan orang lain ini, walaupun bukan pertimbangan utama, kadang ada perlunya juga kita perhatikan. Yang jelas, kalaupun tidak sesuai sekali kompetensi dakwah kita, paling tidak tidak mematikannya sama sekali. Supaya masih rada nyambung sama ‘Nahnu du’at qobla kulli syai’. (koq mudah ya ngomong kalo belum ngejalanin…J)

Ketiga, sekarang-sekarang ini istilah entrepreneurship tampaknya memang lagi booming. Maraknya tema-tema pelatihan, pengembangan diri, kepemimpinan dsb dengan segala derivasinya di kalangan perkotaan tahun-tahun belakangan ini akhirnya berakibat pada menyebarnya virus entrepreneurship. Kalangan para ulama pun terkesan ikut terpengaruh kuat oleh virus ini. Brand Aa Gym, sudah dikenal banyak orang dengan kekentalannya pada muatan entrepreneurship. Ust. Abu Syauqi, juga kita kenal sebagai pebisnis muslim yang handal. Bagi sebagian orang, bisa jadi ini hanya euphoria, namun bagi sebagian lain, khususnya kalangan ulama, saya rasa tidak juga.

Dalam pandangan saya, seorang ulama (bukan ulama su’) adalah orang yang memiliki kepedulian terhadap kepentingan dan keselamatan agama dan ummat. Maka jika sebagian ulama kita saksikan turut mengkampanyekan yang namanya entrepreneurship, maka tentu itu ada hubungannya dengan kepentingan agama dan ummat. Al Ghazali dalam Kitab Adab Al Kasb wa Al Ma’asy (bagian dari Ihya ‘Ulum Ad Din) menyebutkan 7 hal yang perlu dipenuhi dalam berusaha. Setelah memulai usaha dengan niat yang baik, hal kedua yang perlu dipenuhi adalah memilih jenis usaha yang tergolong fardhu kifayah.

Tampaknya, para ulama menyadari bahwa fardhu kifayah yang relatif paling banyak belum tertunaikan adalah pada sektor wirausaha. Maklum 32 tahun Orde Baru pola fikir rakyat Indonesia benar-benar terkungkung dalam paradigma yang sempit (Wah, tampaknya kita harus berterima kasih sama mbah Harto, kalo ga ada Orba, kan ga ada yang bisa di-kambing-kan sampai hitam…). Alhamdulillah, dengan adanya reformasi, banyak rakyat yang mulai tercerahkan. Fikiran yang tercerahkan tentu tidak cukup. Kerja nyata harus dijalankan. Maka dikampanyekanlah entrepreneurship. Karena memang sektor-sektor usaha mandiri yang belum terisi masih sangat banyak-banyak sekali… . Kesimpulannya, buat yang kerja di perusahaan, kalem aja…

Keempat, akhirnya kembali pada niat. Bagaimanapun, kita sebenarnya dapat memunculkan 1001 alasan mengapa kita memilih wirausaha atau kerja di perusahaan. Karena alasan pasti bisa kita buat dengan atau tanpa kebenaran tergantung pada kapasitas pemikiran kita. Namun yang jelas, sebagai hamba Allah yang baik, sebelum melakukan segalanya dengan ittiba’urrasul, niat tetap penentu segalanya di sisi Allah. Atas dasar motivasi seperti apakah kita memilih suatu profesi?

Dalam suatu riwayat, suatu hari Rasulullah saw bersama para sahabatnya melihat seorang pemuda bertubuh kekar sedang bergegas di waktu yang dini ke tempat pekerjaannya. Beberapa dari yang hadir berkata, “Sungguh merugi pemuda ini! Seandainya saja keremajaannya dan kekuatan tubuhnya digunakannya dalam perjuangan fi sabilillah(di jalan Allah)!”. Mendengar itu, Rasulullah saw segera menimpali, “Jangan kalian mengatakan seperti itu. Sebab, jika orang seperti dia ini bekerja demi mencegah dirinya dari perbuatan meminta-minta dan demi mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya, maka sesungguhnya dia berada dalam perjuangan fi sabilillah. Dan sekiranya dia bekerja demi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia atau anak-anaknya yang masih lemah, demi mencukupi kebutuhan mereka, maka sesungguhnya dia berada fi sabilillah. Tetapi sekiranya dia bekerja demi kebanggaan diri dan karena dorongan menumpuk-menumpuk harta, maka dia berada fi sabil asy syaithan.” [HR Thabrani dalam ketiga mu’jamnya]

Nah, jadi dimana kita berada?

Wallahu a’lam bish shawab

“Yang paling utama bagi seorang berakal adalah yang paling diperlukannya di masa kini. Sedangkan yang paling diperlukannya di masa kini adalah yang paling banyak membawa kebahagiaan di masa mendatang”

Saturday, April 25, 2009

Menghitung Diri

Hisablah dirimu sebelum dirimu dihisab...

. . . . . . . . . . . . . .
Bismillah.
Sungguh aktivitas bercermin, terkadang begitu menakutkan. Ketika kita suka tidak suka harus menyadari betapa menyedihkannya keadaan kita saat ini.

Menyedihkan. Karena sampai dengan detik ini ternyata masih begitu jauh jarak terbentang antara diri kita dengan sang tauladan Rasulullah saw yang selalu kita anggap sebagai tokoh idola. Apa yang telah kita lakukan sebenarnya pada detik-detik kehidupan kita, pada satu dua tarikan nafas kita. Adakah masa-masa itu telah berhasil mendekatkan kualitas diri kita dengan sang tauladan? walaupun hanya sedikit sekalipun? ataukah detik-detik itu justru menjauhkannya?

Narrated Ibn 'Abbas:
The Prophet said, "There are two blessings which many people lose:(They are) Health and free time for doing good."
[Hadith Bukhari]

Wallahu a'lam bishshowab.

Allahummaj'alnii min at Tawwabiina

Waj'alnii min al Mutathohhiriina

Waj'alnii min 'Ibaadika ash Sholihiina

Allhahummarhamnii