[:: fafirru...ilallah ! ::]

waktu adalah kehidupan. dan sungguh detik-detiknya akan membuktikan kualitas kehidupan yang kita bangun. maka bersegeralah kepada allah. karena dia-lah sumber energi yang tak terbatas...

My Photo
Name:
Location: Bontang, East Borneo, Indonesia

from zero to hero.

Saturday, May 02, 2009

Employee vs Entrepreneur


“Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian” [QS Al Baqarah 2:198]
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud juga makan dari kerja tangannya sendiri.” [HR Bukhari]
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan Luth menjadi petani, Shalih menjadi pedagang. Daud menjadi pandai besi, Musa, Syuaib, dan Muhammad menjadi penggembala.”

Sepertinya saya belum pernah mengetahui adanya nash atau hadits yang secara eksplisit mengarahkan ummat Islam dalam memilih profesi ekonominya. Kita-kita (kita..?) yang mengagungkan entrepreneurship biasanya menggunakan dalil bahwa 9 di antara 10 sahabat yang dijamin masuk surga adalah entrepreneur. Pertanyaannya, kesepuluh sahabat tersebut mendapatkan jaminan surga karena entrepreneurship-nya-kah, atau karena yang lain?

Saya cuma ingin mencoba melihat ‘pertarungan’ ini dari sisi-sisi yang lain…

Pertama, antara menjadi karyawan dan menjadi wirausaha, adakah yang satu lebih baik dari yang lainnya? Ataukah kedudukannya setara, dalam artian sebenarnya kedua hal tersebut merupakan pilihan hidup biasa?

Jawabannya mungkin akan berbeda-beda bergantung pada tolok ukur yang kita gunakan. Jika tolok ukurnya keamanan financial (saya tidak terlalu sepakat dengan pendapat yang merendahkan pertimbangan keamanan financial) mungkin orang akan berkata bahwa menjadi karyawan tentu lebih baik. Jika tolok ukurnya kebebasan financial maka orang akan berkata sebaliknya, entrepreneurlah yang terbaik. Namun jika kita berbagai tolok ukur itu kita saling pertimbangkan, pada akhirnya saya berpendapat bahwa urusan ini lebih dekat kepada hanya sebuah pilihan hidup belaka. Apakah kita ingin menjadi pegawai perusahaan X, atau apakah kita ingin merintis usaha sendiri, itu pilihan. Letak ‘fastabiqul khairat’-nya bukan terletak pada mana yang kita pilih, tetapi pada usaha kita dalam masing-masing pilihan itu.

Mengapa demikian? Ya kita kembalikan saja kepada kehidupan para sahabat dan kaum Muslimin setelahnya. Jika fakta 9 di antara 10 sahabat yang dijamin masuk surga adalah wirausahawan, kita jadikan dalil bahwa wirausaha lebih baik daripada menjadi karyawan, maka mengapa para sahabat tidak seluruhnya menjadi entrepreneur. Bukankah para sahabat adalah orang-orang yang sangat gigih mengejar kebaikan? Para Sahabat adalah kaum yang terdekat dengan Nabi saw, maka kita percaya mereka adalah kaum yang paling baik dalam meneladani Nabi saw. Begitupun para tabi’in adalah yang terbaik dalam meneladani para sahabat, selanjutnya para tabi’it tabi’in merupakan kaum yang paling baik meneladani para tabi’in. Namun lagi-lagi kita tidak menjumpai beliau-beliau seluruhnya menjadi entrepreneur (atau saya salah?), sedangkan kita masih percaya mereka adalah orang-orang selalu mengejar kebaikan. Demikian saya fikir cukup untuk mengatakan bahwa urusan ini hanyalah masalah pilihan hidup biasa.

Kedua, apa sesungguhnya alasan sehingga sebagian besar para Nabi dan para Sahabat konon menjadi entrepreneur?

Menurut saya, fakta tersebut lebih bersifat kondisional. Para Nabi adalah pemimpin. Para Nabi adalah sang pembawa risalah, yang hampir dapat dipastikan mendapat pertentangan yang keras dari kaumnya. Rasanya tidak akan terbayang kalau seandainya Nabi Muhammad saw sambil berda’wah juga harus menyisihkan waktu untuk bekerja di kantornya Abu Jahal misalkan. Begitupun para Sahabat, rasanya sirah sahabat akan aneh kalau misalnya ada riwayat Abu Bakar r.a kerja di tempatnya Abu Sufyan misalkan. Mengapa? Karena Rasulullah saw adalah sang pembawa ajaran baru (dalam konteks zaman itu) yang akan membentuk ummat baru, maka dalam segala hal peran kepemimpinan dan peran keteladanan beliau menjadi sangat vital. Jadi entrepreneurship-nya sebagian Nabi, Rasulullah saw dan para Sahabat adalah kondisional sesuai peran dakwah dan konsekuensi logis yang mengikutinya. Toh kita juga mengetahui bahwa Nabi Yusuf pun bekerja pada kerajaan bukan?karena memang peran dakwah dari kenabian beliau menghendaki demikian.

Jadi buat kita-kita (kita..?) yang masih menjadikan dakwah sebagai profesi utama sebagaimana para Nabi dan Rasul, ada baiknya jika pilihan profesi kita ada kesesuaiannya dengan peran dakwah kita. Peran dakwah tentu bergantung pada kompetensi dakwah kita. Saya rasa banyak dari kita yang sudah cukup terlatih dengan kerja-kerja dakwah selama berada di kampus beberapa waktu lalu (opsional, boleh diganti dengan ‘hingga beberapa waktu ke depan’ J ). Artinya tentu sudah sangat memahami di mana letak kompetensi kita sesungguhnya dalam berdakwah, sehingga kita bisa memilih profesi yang paling sesuai dengan kompetensi tersebut. Selain kompetensi, peran dakwah juga dipengaruhi oleh pandangan orang lain. Maklum, ‘orang baik’ konon selalu mendapat sorotan. Biasanya masyarakat kita masih suka bertanya, ‘sekarang kerja di mana?’. Jawaban kita bisa jadi akan sangat mempengaruhi peran dakwah kita di tengah-tengah mereka. Ambil contoh jawaban kita ‘di Siemens’ atau ‘di Astra’ atau ‘di Schlumberger’ atau ‘Caltex, Freeport, sekaligus KPC’ dll, biasanya masyarakat kita langsung kagum. Di satu sisi ini mungkin masalah paradigma, tapi di sisi lain, ini akan berdampak positif bagi peran dakwah kita. Berbeda jika kita ternyata sama sekali belum sanggup menjawabnya. Kalau ini dijadikan kebiasaan, jangankan berhadapan dengan umat, berhadapan dengan calon mertua pun bingung, kan repot. Untuk bab pandangan orang lain ini, walaupun bukan pertimbangan utama, kadang ada perlunya juga kita perhatikan. Yang jelas, kalaupun tidak sesuai sekali kompetensi dakwah kita, paling tidak tidak mematikannya sama sekali. Supaya masih rada nyambung sama ‘Nahnu du’at qobla kulli syai’. (koq mudah ya ngomong kalo belum ngejalanin…J)

Ketiga, sekarang-sekarang ini istilah entrepreneurship tampaknya memang lagi booming. Maraknya tema-tema pelatihan, pengembangan diri, kepemimpinan dsb dengan segala derivasinya di kalangan perkotaan tahun-tahun belakangan ini akhirnya berakibat pada menyebarnya virus entrepreneurship. Kalangan para ulama pun terkesan ikut terpengaruh kuat oleh virus ini. Brand Aa Gym, sudah dikenal banyak orang dengan kekentalannya pada muatan entrepreneurship. Ust. Abu Syauqi, juga kita kenal sebagai pebisnis muslim yang handal. Bagi sebagian orang, bisa jadi ini hanya euphoria, namun bagi sebagian lain, khususnya kalangan ulama, saya rasa tidak juga.

Dalam pandangan saya, seorang ulama (bukan ulama su’) adalah orang yang memiliki kepedulian terhadap kepentingan dan keselamatan agama dan ummat. Maka jika sebagian ulama kita saksikan turut mengkampanyekan yang namanya entrepreneurship, maka tentu itu ada hubungannya dengan kepentingan agama dan ummat. Al Ghazali dalam Kitab Adab Al Kasb wa Al Ma’asy (bagian dari Ihya ‘Ulum Ad Din) menyebutkan 7 hal yang perlu dipenuhi dalam berusaha. Setelah memulai usaha dengan niat yang baik, hal kedua yang perlu dipenuhi adalah memilih jenis usaha yang tergolong fardhu kifayah.

Tampaknya, para ulama menyadari bahwa fardhu kifayah yang relatif paling banyak belum tertunaikan adalah pada sektor wirausaha. Maklum 32 tahun Orde Baru pola fikir rakyat Indonesia benar-benar terkungkung dalam paradigma yang sempit (Wah, tampaknya kita harus berterima kasih sama mbah Harto, kalo ga ada Orba, kan ga ada yang bisa di-kambing-kan sampai hitam…). Alhamdulillah, dengan adanya reformasi, banyak rakyat yang mulai tercerahkan. Fikiran yang tercerahkan tentu tidak cukup. Kerja nyata harus dijalankan. Maka dikampanyekanlah entrepreneurship. Karena memang sektor-sektor usaha mandiri yang belum terisi masih sangat banyak-banyak sekali… . Kesimpulannya, buat yang kerja di perusahaan, kalem aja…

Keempat, akhirnya kembali pada niat. Bagaimanapun, kita sebenarnya dapat memunculkan 1001 alasan mengapa kita memilih wirausaha atau kerja di perusahaan. Karena alasan pasti bisa kita buat dengan atau tanpa kebenaran tergantung pada kapasitas pemikiran kita. Namun yang jelas, sebagai hamba Allah yang baik, sebelum melakukan segalanya dengan ittiba’urrasul, niat tetap penentu segalanya di sisi Allah. Atas dasar motivasi seperti apakah kita memilih suatu profesi?

Dalam suatu riwayat, suatu hari Rasulullah saw bersama para sahabatnya melihat seorang pemuda bertubuh kekar sedang bergegas di waktu yang dini ke tempat pekerjaannya. Beberapa dari yang hadir berkata, “Sungguh merugi pemuda ini! Seandainya saja keremajaannya dan kekuatan tubuhnya digunakannya dalam perjuangan fi sabilillah(di jalan Allah)!”. Mendengar itu, Rasulullah saw segera menimpali, “Jangan kalian mengatakan seperti itu. Sebab, jika orang seperti dia ini bekerja demi mencegah dirinya dari perbuatan meminta-minta dan demi mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya, maka sesungguhnya dia berada dalam perjuangan fi sabilillah. Dan sekiranya dia bekerja demi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia atau anak-anaknya yang masih lemah, demi mencukupi kebutuhan mereka, maka sesungguhnya dia berada fi sabilillah. Tetapi sekiranya dia bekerja demi kebanggaan diri dan karena dorongan menumpuk-menumpuk harta, maka dia berada fi sabil asy syaithan.” [HR Thabrani dalam ketiga mu’jamnya]

Nah, jadi dimana kita berada?

Wallahu a’lam bish shawab

“Yang paling utama bagi seorang berakal adalah yang paling diperlukannya di masa kini. Sedangkan yang paling diperlukannya di masa kini adalah yang paling banyak membawa kebahagiaan di masa mendatang”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home